Kamis, 30 Desember 2010

DILEMA PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

BAB I
 PENDAHULUAN
            Segala puji kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugrah-Nya yang berupa nikmat  serta hidayah kepada kami sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam kami panjatkan kepada Allah untuk disampaikan kepada Nabiyullah serta suri teladan umat islam yakni Nabi Muhammad SAW dengan melafazkan Allahumma shalli ala Muhammad waala ali Muhammad. Mudah-mudah kita mendapatkan syaffatnya di akhirat kelak dengan seizing-Nya, amin.
LATAR BELAKANG
Berbicara tentang penerapan syariat Islam, kita akan segera teringat pada berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah lelah menyuarakan diberlakukannya syariat Islam, mulai dari mereka yang tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan penerapan itu sekarang juga sampai pada yang memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya. Ini menunjukkan bahwa dikalangan internal Islam sendiri terdapat berbagai fersi yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu kemungkinan diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia.  
Perdebatan mengenai peluang penerapan syariat (hukum Islam) di Indonesia, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD. Dua fraksi partai Islam yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan umum mereka bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Batang Tubuh UUD 1945, khususnya pasal 29.
Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal baru. Ia telah sejak lama dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Pada tingkat lokal, syariat Islam juga diberlakukan di Zamfara, sebuah provinsi di Nigeria. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap menerapkan syariat Islam atau tidak.
Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga negara dalam menjalankan ibadahnya. fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antarumat beragama. Agama haruslah menjadi landasan moral.Secara normatif, menjalankan syariat Islam secara kaffah merupakan perintah Allah, dan mengabaikannya dikategorikan sebagai manusia kafir, zalim, atau fasik.
Dalam benak beberapa kelompok Islamis, hukum Islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i. Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat Islam secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu penerapan hukum Islam ini.
MASALAH
            Kita umat islam sangat membutuhkan suatu perubahan total yang mampu mengubah sistem yang telah ada menjadi sistem Islami. Umat Islam di seluruh dunia dijerat sistem jahiliyah yang setiap saat siap menghancurkan Islam, tanpa kita menyadarinya. Sistem hukum, politik, sosial, ekonomi, pertahanan keamandan sebagainya telah dikuasai musuh-musuh Islam. Apakah kita masih ragu dengan kenyataan ini ? apakah kita masih dapat tidur nyenyak sementara mereka selalu siap menerkam untuk memusnahkan kita ? kita tidak perlu membentangkan rencana kerja dan hasil yang telah dicapai. Karena, bagi setiap umat Islam yang senantiasa berpegang pada petunjukNya, akan cepat menyadari betapa kita telah lalai sehingga terlelap dalam sistem sekuler dan kita harus bangkit untuk mengejar ketinggalan dan kelemahan kita. Sudahkah terfikir oleh kita, sampai sejauh mana kita diseret dan ditendang dalam lembah kehinaan. Tak terlihat nyata namun ada, karena terbungkus rapi, berlindung pada masalah sosial dan kemanusiaan. Inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, kecuali oleh segolongan umat yang telah dirusak oleh zaman, dan telah dibuai janji kosong, yang telah merasakan nikmt hidup diatas mayat umat yang telah hancur berantakan.
TUJUAN
            Syariat Islam sebagai suatu aspek dari ajaran islam yang universal dan komprehensif sering digambarkan secara keliru oleh sebagian orang, khususnya ahli hokum konvensional. Hokum Islam sering dipandang dari satu sisi saja, tanpa melihat sisi lain yang terpisah dari sisi pertama. setiap mendengar ungkapan ‘Hukum Islam’, maka yang tersirat dalam benak mereka tidak lebih dari sekedar hokum potong tangan, hokum rajam, dan qishash yang dapat dikategorikan sebagai vonis. Kalau dilihat sepintas, semua vonis memang akan menimbulkan kesan yang kurang enak bagi hukum Allah tersebut dan sering mendapat sorotan tajam dari kalangan nonislam seperti orientalis, politisi barat, dan sebagian umat islam yang telah termakan oleh ide orientalis. Mereka menggambarkan hukuman tersebut sebagai sesuatu yang kejam dan tidak sesuai dengan peradaban modern. Hal inilah yang akan kami telaah dan kritisi untuk mengubah paradigma negatif tersebut, agar bagaimana syariat islam tidak dilihat dari satu sisi saja, akan tetapi akan lebih objektif jika disinkronkan dengan sisinya yang lain.

LANDASAN TEORI
            Pada karya tulis ini kami menggunakan Al-Qur’an sebadai landasan teori dan beberapa buku sebagai referensi pelengkap.


BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Penerapan Hukum

1. Syariat Islam Tentang Penataan Hukum
Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang beriman agar menjalankan hukumnya.
Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul-Nya.
Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia.
Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an. Ia merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah. Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Qur’an dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia, melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah. Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas. Apabila mengabil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik. Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-norma  hukum adat atau hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga. Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
2. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams, mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hukum -hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati.

Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam. Bahkan – sebagaimana dikatakan Gibb – hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.
3. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)
Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg. Ia mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam.
Teori RIC menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie.
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih – yang dianggap representatif – telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).

4. Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal dengan Islam Policy. Rumusan kebijakan terhadap hukum Islam antara lain; (1) dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam. (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku. (3) dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Dr. Alfian, teori receptive berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan.
5. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hazairin menyebut teori Receptie adalah “teori iblis”.
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum nasional.
Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan Otoritas Hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.
6. Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.
Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam.

7. Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A, yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3) norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.
Analisis Filosofis Penerapan Hukum Islam
Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum yang di cita-citakan.

Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan positifasi syariat Islam menjadi hukum nasional, mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya, keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.
Juhaya S. Praja – pendapatnya dalam merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum nasional – mengatakan bahwa, walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai pengaruh cukup besar.

Pendapat yang berbeda disampaikan Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa diamalkan. Ia juga mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan agama dengan kekuasaan.
Syariat Islam selama ini masih dipahami – oleh sebagian orang – sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat Islam sebagai hukum Islam diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontraproduktif ketika bengsa ini hendak memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Kesalahpahaman tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Kekuatan syariat Islam dalam menata ketertiban dan kedamaian masyarakat selain yang bersifat normatif dalam bidang ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu, hukum pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum positif.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, kami dapat mengatakan bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu bila syariat Islam tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat Islam secara individual memang hanya bisa pada tataran normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum Islam yang berhubungan dengan hukum publik, memang tetap mesti ada campur tangan negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat mendukung proses implementasinya.


Faktor Pendukung dan Kendala Penerapan Hukum Islam
1. Faktor-faktor Pendukung Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;
  1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
  2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
  3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
  4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
  5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
2. Kendala-Kendala dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut;
  1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
  2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
  3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
  4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.

Jumat, 24 Desember 2010

HUKUM, KEBEBASAN, KEKUASAAN


Dalam setiap situasi krisis, fungsi hukum sebagai sarana kontrol (demi tertibnya kehidupan) tanpa dapat dielakkan akan selalu dipertanyakan kembali. Mengapa sampai terjadi krisis? Apakah hukum sudah tak lagi mampu berfungsi dengan baik sehingga krisis terjadi dalam kehidupan ini? Haruskan oleh sebab itu, demi teratasinya krisis, hukum diformat kembali lewat suatu proses reformasi agar yang dinamakan hukum ini dapat difungsikan kembali sebagai sarana kontrol yang mumpuni?

Sesungguhnya, dalam riwayatnya sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang dinamakan hukum ini selalu mengalami transformasi, beralih-alih dari formatnya yang satu ke formatnya yang lain. Terjadinya transformasi itu mungkin saja bersebab dari proses-proses adaptasi yang penuh dengan fakta "trial and error", atau mungkin pula karena upaya-upaya bersengaja yang bermula dari proses-proses rekonseptualisasi kaum pemikir sampai pun ke proses-prosesnya yang berupa restrukturisasi oleh para politisi.

Dinamika adaptif hukum sebagai suatu sistem lingkungan yang berubah pernah ditulis dengan bagus sekali oleh Harold Bergman dalam bukunya Law and Revolution. Tesis Berman antara lain, hukum itu--sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman hukum menurut tradisi negeri-negeri Barat--selalu berubah, mengalami pertumbuhan organik, baik pada tatanannya yang konseptual dan substantif-normatif maupun pada tatanannya yang struktural.

Revolusi-revolusi sosial, politik, dan kultural telah mereformasi hukum sesuai dengan kebutuhan zamannya. Penyesuaian itu sedemikian rupa sehingga hukum--dalam berbagai formatnya--berhasil melanggengkan fungsinya (yang tak selalu mudah) sebagai kekuatan pengintegrasi dan sarana kontrol yang relatif efektif untuk menjamin kehidupan yang tertib.

Hukum yang kita kenali kini sebagai hukum perundang-undangan yang positif adalah juga produk upaya adaptif pengelolanya untuk tetap dapat memfungsikan hukum di tengah suatu kehidupan yang tengah berubah. Hukum perundang-undangan yang kita kenali kini ini adalah sesungguhnya juga hasil reformasi rekonseptualisasi dan restrukturisasi untuk merespons tuntutan zamannya. Hukum perundang-undangan terinstitusikan untuk merespons kebutuhan negara-negara bangsa yang bertumbuh-kembang sebagai negara-negara demokratis di negeri-negeri Barat sejak abad ke-18 yang mendambakan kepastian-kepastian hak bagi setiap warga negara.

Hukum perundang-undangan memastikan, alias mempositifkan, mana kebebasan asali warga yang akan dibenarkan dan diakui menurut hukum sebagai hak asasi, dan mana pula yang akan dikecualikan untuk tidak lagi dibenarkan sebagai kebebasan. Sementara itu, di lain pihak, hukum perundang-undangan akan memastikan mana-mana pula kekuasaan para penguasa yang--dalam jumlah terbatas--boleh dibenarkan menurut hukum sebagai kewenangan.

Paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak--dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan)-- inilah yang di dalam konsep metayuridisnya disebut " konstitusionalisme", dan yang di dalam bahasa politiknya disebut "demokrasi". Inilah paradigma yang seharusnya menjiwai seluruh sistem hukum, baik pada wujudnya sebagai peraturan-peraturan maupun pada tahap proses pelaksanaan dan aplikasinya.

Jiwa dan Moral

Namun demikian, bukan mustahil pula apabila dalam praktik nanti ternyata hukum itu--secara berlawanan dengan ide konstitusionalisme--acapkali dapat pula digunakan pertama-tama sebagai pembenar eksistensi kekuasaan yang pada asasnya tak boleh dibatasi, (baik dalam hal jumlah maupun dalam hal ragam-macamnya). Akan tetapi, ditilik dari ide kontitusionalisme ini, kekuasaan yang berwatak demikian itu (setinggi apa pun derajat keabsahannya) harus dinyatakan telah kehilangan jiwa atau moral konstitusional(lisme)nya. Dikatakan, kekuasaan seperti itu memang mempunyai dasar legalitasnya, tapi telah kehilangan legitimitasnya.

Hukum yang menyalahi moral konstitusionalismenya adalah hukum yang represif. Yang demikian ini di tangan para pejabat pemerintahan hukum itu berhakikat sebagai instrumen-instrumen legal guna menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan berdasarkan sanksi-sanksi. Hukum--yang sekalipun mempunyai rujukannya yang positif di konstitusi akan tetapi tak dijiwai oleh moral konstitusionalisme--seperti itu tentu saja tidak dapat diharapkan menjamin terlindunginya kebebasan dan hak warga dari sembarang kebijakan pemerintah.

Dalam kenyataan seperti itu, tatkala hukum lebih termanfaatkan untuk menjamin kekuasaan daripada untuk menjamin kebebasan, tertengarailah bahwa para pejabat pengemban kekuasaan itulah yang lebih sering menyerukan agar siapa pun selalu menaati hukum dan bertindak konstitusional. Tak lain karena sang penguasa ini mengetahui, menaati hukum dan konstitusi itu pada hakikatnya adalah menaati kekuasaannya yang besar dan tak gampang dibatasi.

Tidak demikianlah halnya apabila suasana kehidupan hukum di suatu negeri itu adalah suasana yang bernuansa konstitusionalisme. Dalam hal ini setiap kata di dalam setiap rumusan hukum perundang-undangan itu akan terbaca sebagai keharusan untuk pertama-tama menjamin kebebasan dan hak warga, dan bukan pertama-tama sebagai pengukuh kekuasaan yang pada asasnya tak bisa dibatasi. Justru para pengemban kekuasaan pemerintahan itulah yang tertengarai selalu mengingat-ingatkan agar menaati hukum dan konsitusi. Tak lain karena di sini ini menaati hukum dan menaati konstitusi pada hakikatnya adalah menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya. Itulah imperatif kebebasan dan hak-hak warga yang harus dihormati dan ditegakkan oleh pengemban kekuasaan negara di mana pun dan kapan pun.

Membicarakan konstiusionalisme adalah sesungguhnya membicarakan sebuah ajaran metayuridis tentang berlakunya sebuah asas aksiomatik. Asas itu harus selalu diperhatikan tatkala orang membangun sebuah sistem hukum yang memenuhi syarat demi terealisasinya kehidupan bernegara-bangsa yang demokratis. Setiap kekuasaan yang diakui sebagi kewenangan pemerintahan, sesungguhnya berfungsi menjaga kebebasan dan hak warga. Ini berarti bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya kewenangan akan selalu tergantung dari kesediaan warga untuk secara sukarela mengurangkan sebagian dari kebebasannya agar dimungkinkan terwujudnya sejumlah kekuasaan. Dengan demikian, berarti juga adanya kesediaan warga untuk "menidurkan" sebagian dari hak-haknya agar dimungkinkan--untuk sementara, sejauh diperlukan--terciptanya tambahan kekuasaan pengatur di tangan pemerintah.

Kekuasaan dan Kebebasan

Tak pelak lagi, dihubungkan dengan persoalan sukarela atau tidak sukarela ini, konstitusionalisme secara implisit namun logis mengisyarakatkan bahwa setiap kekuasaan yang ada di tangan pemerintah hanya bisa dibenarkan dan dinyatakan sah sebagai kewenangan manakala didasari oleh persetujuan eksplisit warga. Persetujuan itu lewat wakil-wakil warga yang dipilih melalui suatu proses pemilihan yang jujur--untuk melepaskan sebagian dari kebebasannya demi memungkinkan penciptaan tambahan kekuasaan yang boleh diamanatkan dan dimandatkan kepada sang pejabat kekuasaan itu.

Dari situ asal mulanya pembenaran atas anggapan konseptual bahwa sesungguhnya kekuasaan dan kewenangan itu dihasilkan oleh suatu proses kontraktual. Ini adalah suatu proses interaktif yang terbuka dan yang tak boleh diganggu iktikad-iktikad culas. Proses ini untuk mempertemukan kemauan dan kesediaan warga mengenai perimbangan ulang yang dipandang lebih proposional antara kekuasaan dan kebebasan dan atau antara kewenangan (kewenangan para warga yang dipercaya menjadi pejabat) dan hak-hak (hak-hak warga yang secara sukarela tak berkehendak mendudukkan diri dalam jabatan pemerintah, sipil, ataupun militer).

Proses kontraktual--yang selalu saja dapat dikerjakan setiap saat untuk menyepatkan ulang perimbangan baru (antara luas-sempitnya kekuasaan dan luas sempitnya kebebasan)--inilah yang mungkin saja mengesankan adanya relativitas dan partikularitas di dalam ide konstitualisme itu. Namun demikian, betapapun juga kuatnya kesan, asasnya adalah tetap tak berubah bahwa di mana pun dan kapan pun juga kekuasaan dan kewenangan itu, baik dalam kuantitas maupun dalam kualitasnya, sesungguhnya berfungsi menjaga--alias berawal-sebab dari--kebebasan dan hak. Bukan sebaliknya.

Jadi, menurut ide dasarnya konstitusionalisme itu tidaklah hendak mengelakkan kemungkinan terjadinya kenyataan bahwa suatu saat dan pada situasi tertentu kekuasaan pemerintahan bisa saja disepakati oleh warga secara sukarela untuk lebih dominan daripada yang sudah-sudah. Pada akhirnya, esensi ide konstitualisme itu terletak pada soal keharusan yang tak boleh ditawar untuk meminimkan kekuasaan di satu pihak, dan memaksimumkan kebebasan di lain pihak.

Pada akhirnya, esensi ide konstitusionalisme itu terletak pada soal apakah kesukarelaan warga--yang diungkapkan secara langsung ataupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara langsung, umum, bersih, rahasia, jujur, dan adil--benar-benar bisa tetap terjaga ataukah tidak. Bagaimanapun juga konstitusionalisme adalah ide tentang penghormatan dan perlindungan kebebasan manusia sebagai hak yang asali dan asasi. Pengurangannya (bukan sekali-kali "dilepaskan")--demi dimungkinkannya penciptaan kekuasaan penertib kehidupan--dapat saja dilakukan. Itu tidak menjadi soal, asal prosesnya berlangsung dalam format kontraktual, yang tentu saja harus dilandasi kesukarelaan itu. (Soetandyo Wignjosoebroto)

KEPASTIAN HUKUM DAN KEKUASAAN PENGADILAN

Kepastian hukum -- sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum -- adalah sesungguhnya sebuah doktrin.  Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana dan penegak hukum untuk (demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga ketertiban dalam kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama.  Doktrin ini mengajarkan agar setiap ahli hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai hakim, tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang norma hukum guna menghukumi sesuatu perkara.  Demi kepatuhan, hanya norma hukum yang telah diundangkan sajalah yang secara murni dan konsekuen boleh dipakai untuk menghukumi sesuatu perkara.  Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri pertimbangan-pertimbangan yang merujuk ke sumber-sumber normatif yang lain; seperti misalnya norma moral, rasa keadilan, ideologi politik, keyakinan pribadi, atau apapun lainnya.  Diyakini orang, bahwa dengan dipatuhinya doktrin seperti itu hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk mengefektifkan berlakunya kaidah-kaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di dalamnya.
            Tak pelak lagi, doktrin kepatuhan hukum yang mem-berikan arahan kepada para pelaksana hukum seperti terpapar di atas itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga mengajarkan pemahaman hukum sebagai hukum murni.  Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus memiliki sosok yang kasatmata dan sifat yang objektif.  Oleh sebab itu, setiap norma yang terbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis!) secara eksplisit, cermat dan tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu.  Maka, dari doktrin positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang (lege, lex).  Doktrin positivisme ini pulalah yang mengajarkan agar setiap ahli hukum yang mendayagunakan hukum berkewajiban menjaga kemurnian hukum (dalam artinya sebagai undang-undang) agar hak dan kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam aturan-aturan hukum/undang-undang dapat diketahui dengan pasti dan segala konsekuensinyapun dapat diprediksikan pula dengan pasti.  Pengidentikkan hukum dengan norma-norma lain yang bukan hukum undang-undang dikhawatirkan hanya akan mengganggu kepastian itu.
            Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasi ke dalam ajaran hukum murni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam masyarakat, nota bene masyarakat yang penuh konflik namun mendambakan ketertiban itu.  Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (yang secara ringkas acap pula disebut paham legalisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang netral.  Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-kelompok atau kesesatan), maka isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali akan mengesankan akan memihak kepentingan sepihak.  Dalam pelaksanaannyapun tidaklah isi hukum itu boleh ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas kerugian pihak yang lain.
            Tak cuma dalam hal mengartikan isi hukum, dalam perilakunya -- yang direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yang disebut kadi -- atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' -- pun hukum itu mestilah tak memihak atau boleh berat sebelah.  Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat dalam kesepakatan (tatkala kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara atau terlibat dalam perkara (tatkala perkara tengah ditangani pengadilan).  Hakim bukanlah pelaku dan pemihak dalam ihwal pembuatan hukum.  Hakim adalah seseorang yang ahli dalam soal tatacara menemukan hukum, mengartikan maknanaya dan kemudian menyimpulkannya untuk menghukumi perkara-perkara tertentu "tanpa pandang bulu".  Hakim dengan keahliannya yang profesional tak akan menengok ke kanan atau ke kiri guna memilih pihak.  Menurut filsafat, ajaran atau doktrin legalisme, hukum itu mesti lurus dan benar (recht moet recht zijn kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de rechter dalam Bahasa Belanda) karena itu juga mesti selalu berjalan lurus, lempang ke depan menuruti imperativa substantif isi hukum, tanpa boleh ada niat culas untuk berpikiran bengkok untuk berkelok ke kepentingan yang di kanan atau ke kepentingan yang di kiri.  Maka hakim itu mestilah selalu siap untuk "cuma" berperan sebagai -- demikian kata de Montesquieu -- la bouche qui prononce les paroles des lois semata.  

Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legalisme dari madhab hukum murni -- dan yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik peradilan -- itu adalah doktrin dan ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada suatu era tatkala proses demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan negara harus bisa dibatasi dan dikontrol oleh hukum.  Negara haruslah dikonstruksi sebagai 'negara hukum' dan bukan 'negara kekuasaan'.  Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah masyarakat warga (civil society), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti.  Di tengah-tengah kehidupan masyarakat warga yang demikian itu, tidaklah sekelompok orang elit akan mungkin didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain, sedangkan yang lain dalam jumlah massal bolehlah diperkuda serta dipinggir-pinggirkan.  Di tengah kehidupan masyarakat warga, setiap manusia yang warga itu haruslah, menurut doktrinnya, diakui berkedudukan sama di hadapan hukum dan hakim.
            Akan tetapi, apa yang dicita-citakan demikian itu nyata kalau tidak selamanya dapat direalisasi; sedangkan apa yang telah diperikan di dalam konsep tidak selalu merupakan diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman di lapangan.  Dalam kenyataan, manusia itu nyata kalau tidak selalu berkemampuan sama untuk memperoleh kedudukan yang sama.  Maka, sekalipun menurut konsep hukumnya setiap manusia warga masyarakat dan warga negara itu dianggap berkedudukan sama, namun dalam realita kehidupan yang sudah bersifat serba kontraktual ini kesepakatan-kesepakatan yang terjadi antar-pihak tak selamanya mencerminkan perlindungan kepentingan yang berimbang.  Kerja hukum dan hakim yang menurut doktrinnya disyaratkan netral, dan tak boleh memihak, namun dalam kenyataannyapun sering berefek membiarkan (bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan yang memperlihatkan betapa yang satu akan memperoleh lebih, sedangkan yang lain -- yang umumnya jumlahnya justru massal -- memperoleh kurang.
             Walhasil terjejas situasi seperti itu, dengan kontrol hukum yang didoktrinkan netral seperti itu, masyarakat yang ada gagal berkembang menjadi masyarakat warga.  Masyarakat tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-stratum kembali, dengan kenyataan bahwa sejumlah warga selalu memperoleh peluang mendahulu untuk kian memapankan diri sedangkan sejumlah warga yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan.  Hukum dalam konsepnya sebagai hasil kesepakatan warga -- yang antar-warga individual (ialah kontrak) ataupun lebih-lebih lagi yang antar-warga sekelompok kepentingan dalam kehidupan nasional (ialah undang-undang) yang lebih berkonsekeuensi jauh -- tidak selamanya dapat memberikan perlindungan kepentingan secara berimbang.  Mereka yang berkedudukan lemah -- secara ekonomik, politik, sosial ataupun budaya -- akan selalu tertodong kewajiban hukum daripada terbela oleh hak-hak.  Sementara itu mereka yang berada pada posisi diuntungkan selalu saja terkesan gampang memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan hak-haknya.
            Dapat dimengerti, mengapa dalam keadaan seperti itu, legisme (dengan doktrin kepastian hukumnya sekalaipun!) akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki kelebihan dana, informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian.  Dapat dimengerti pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk menyelesaikan segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakan kepada para pejabat administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum in abstracto dan/atau diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan dan kaya akses itu.  Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok mapan ini tentu saja berpamrih untuk terlestarikannya status quo, dan hukum yang didoktrinkan netral dan berkepastian dapatlah didayagunakan untuk maksud itu.
            Maka, dalam masyarakat yang penuh kesenjangan, hukum dengan doktrin kepastian hukum hanya akan memastikan hak-hak mereka yang -- dalam kehidupan yang belum sempurna ini -- telah berhasil mapan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki dana kekayaan, informasi dan akses politik yang amat terkawal.  Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem.  Salah-salah, asas rule of law dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi lalu menjadi tersimak sebagai the ruling by the ruler by (ab)using the law
            Dalam kenyataan seperti itu legisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi revolusioner yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih egalitarian.  Alih-alih begitu, legisme serta merta akan bersosok konservatif dengan kebijakan-kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan kemapanan struktur, demi kelanggengan kepentingan para penguasa yang berhasil mengendalikan struktur demi kepentingannya sendiri yang relatif eksklusif dan penuh priveleges.  Dalam kenyataan sossiologik seperti itu pula hukum dan hakim akan kehilangan otonominya.  Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam struktur kepentingan yang telah mapan, dan secara cepat atau lambat akan mendapatkan dirinya berada dalam fungsinya yang justru represif.  Apabila kenyataan seperti ini tidak segera dikoreksi untuk mengembalikannya ke asas-asas yang diajarkan dalam doktrin, maka maraknya mafia peradilan bukanlah berita bohong belaka.
            Boleh disimpulkan bahwa legisme yang positivistik, dengan ajaran hukum murni yang hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-negeri berkembang yang tengah membangun.  Dalam perkembangan mereaksi kenyataan seperti itu tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme tentang kepastian hukum yang mestinya difungsikan di sini, melainkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara.   Bukan logika hukum para yuris elit yang beroptik normatif saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in concreto.  Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan di sini, melainkan apa yang di Amerika Serikat dikenali sebagai aliran sociological jurisprudence, berikut perkembangannya yang dikenali sebagai ajaran functional jurisprudence.
            Maka di sini bukan sebatas good law yang sebenarnya paling diharapkan, melainkan good man yang berkepribadian arif dan realistik dalam ihwal menafsirkan bunyi undang-undang. .  Dialah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif.  Di tangan dan ditangani good man, baik yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan, maka hukum itu (in abstracto maupun in concreto), akan nyata terbilang ke dalam bilangan 'hukum yang responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia-manusia warganegara, dan bukan lagi terbilang 'hukum yang represif', dengan fungsinya yang utama untuk melegitimasi secara berterusan kekuasaan negara yang tidak lagi tersenarai secara limitative melainkan secara enumeratif.
            Persoalannya sekarang: bagaimana cara membibit good man yang tak hanya cerdas dan berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji.  Cara pendekatan apa yang mestinya digunakan di sini?  Yang struktural lewat proses-proses politik demi terbenahinya sistem agar lebih kondusif bagi tumbuhkembangnya good persons?  Ataukah yang individual lewat pendidikan etika yang intens (etika politik untuk manusia legislatif dan etika profesi untuk mereka yang berkhidmat sebagai manusia yudisial!), yang akan diikuti oleh  rekrutmen yang sungguh selektif dan terbuka?  Ataukah kedua-duanya, kalaupun tidak akan sekaligus secara bersamaan tak pelak akan mendahulukan yang satu tanpa mengabaikan yang lain?
            Manakala kaum mapan telah terlanjur demikian mapan sehingga boleh dikatakan mereka itu telah sanggup mengontrol seluruh akses politik, yang dengan demikian tak akan memungkinkan terjadinya proses-proses dekonstruksi struktur, maka yang masih dimungkinkan tinggallah pendekatan strategik yang nonstruktural, ialah yang invidual lewat proses-proses pendidikan, khususnya yang nonformal dan informal.  Pendidikan adalah suatu front dalam suatu battle of the mind, yang -- sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang waktu yang agak panjang, namun -- merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi yang paling berbudaya, dan yang oleh sebab itu pula -- karena "hanya" berpeluru informasi pembangun sikap dan komitmen -- juga paling tidak berdarah. (Soetandyo Wignjosoebroto)