Jumat, 24 Desember 2010

KEPASTIAN HUKUM DAN KEKUASAAN PENGADILAN

Kepastian hukum -- sebagaimana keadilan dan kemanfaatan hukum -- adalah sesungguhnya sebuah doktrin.  Doktrin kepastian hukum mengajarkan kepada setiap pelaksana dan penegak hukum untuk (demi terkendalikannya kepatuhan warga agar ikut menjaga ketertiban dalam kehidupan) mendayagunakan hukum yang sama untuk kasus yang sama.  Doktrin ini mengajarkan agar setiap ahli hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai hakim, tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang terbilang norma hukum guna menghukumi sesuatu perkara.  Demi kepatuhan, hanya norma hukum yang telah diundangkan sajalah yang secara murni dan konsekuen boleh dipakai untuk menghukumi sesuatu perkara.  Tidaklah norma hukum ini boleh dicampuri pertimbangan-pertimbangan yang merujuk ke sumber-sumber normatif yang lain; seperti misalnya norma moral, rasa keadilan, ideologi politik, keyakinan pribadi, atau apapun lainnya.  Diyakini orang, bahwa dengan dipatuhinya doktrin seperti itu hukum (sebagai suatu institusi) akan amat berdaya untuk mengefektifkan berlakunya kaidah-kaidahnya guna menata kehidupan dan menegakkan tertib di dalamnya.
            Tak pelak lagi, doktrin kepatuhan hukum yang mem-berikan arahan kepada para pelaksana hukum seperti terpapar di atas itu berkaitan erat dengan doktrin lain yang lebih bersifat falsafati, ialah doktrin positivisme yang pada asasnya juga mengajarkan pemahaman hukum sebagai hukum murni.  Doktrin positivisme ini juga mengajarkan bahwa hukum itu harus memiliki sosok yang kasatmata dan sifat yang objektif.  Oleh sebab itu, setiap norma yang terbilang hukum harus dirumuskan (karena itu juga mesti tertulis!) secara eksplisit, cermat dan tepat, oleh pejabat dan/atau institusi yang berkewenangan untuk itu.  Maka, dari doktrin positivisme inilah asal muasal pendapat bahwa setiap hukum (ius) itu harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang (lege, lex).  Doktrin positivisme ini pulalah yang mengajarkan agar setiap ahli hukum yang mendayagunakan hukum berkewajiban menjaga kemurnian hukum (dalam artinya sebagai undang-undang) agar hak dan kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam aturan-aturan hukum/undang-undang dapat diketahui dengan pasti dan segala konsekuensinyapun dapat diprediksikan pula dengan pasti.  Pengidentikkan hukum dengan norma-norma lain yang bukan hukum undang-undang dikhawatirkan hanya akan mengganggu kepastian itu.
            Falsafah hukum beraliran positivisme yang diimplementasi ke dalam ajaran hukum murni, berikut doktrin kepastian hukum yang amat disyaratkan dalam praktek itu, membawa konsekuensi lebih lanjut dalam soal mengkonsepkan hukum dan fungsi hukum dalam masyarakat, nota bene masyarakat yang penuh konflik namun mendambakan ketertiban itu.  Arahan falsafati dan ajaran hukum murni dengan doktrin kepastian hukumnya itu (yang secara ringkas acap pula disebut paham legalisme) memodelkan hukum sebagai institusi sentral yang netral.  Hukum adalah hasil kesepakatan warga masyarakat, entah kesepakatan di ranah privat yang langsung antar-person (disebut 'kontrak'), entah pula kesepakatan di ranah publik antar-kelompok atau kesesatan), maka isi hukum tidaklah akan berat sebelah dan tidak sekali-kali akan mengesankan akan memihak kepentingan sepihak.  Dalam pelaksanaannyapun tidaklah isi hukum itu boleh ditafsirkan oleh seseorang yang memihak untuk menguntungkan satu pihak atas kerugian pihak yang lain.
            Tak cuma dalam hal mengartikan isi hukum, dalam perilakunya -- yang direpresentasikan dan dipersonifikasikan dalam sosok seseorang manusia terpilih yang disebut kadi -- atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan 'hakim' -- pun hukum itu mestilah tak memihak atau boleh berat sebelah.  Hakim bukanlah pihak yang ikut bersepakat atau terlibat dalam kesepakatan (tatkala kontrak atau undang-undang dibuat), serta pula tak ikut berperkara atau terlibat dalam perkara (tatkala perkara tengah ditangani pengadilan).  Hakim bukanlah pelaku dan pemihak dalam ihwal pembuatan hukum.  Hakim adalah seseorang yang ahli dalam soal tatacara menemukan hukum, mengartikan maknanaya dan kemudian menyimpulkannya untuk menghukumi perkara-perkara tertentu "tanpa pandang bulu".  Hakim dengan keahliannya yang profesional tak akan menengok ke kanan atau ke kiri guna memilih pihak.  Menurut filsafat, ajaran atau doktrin legalisme, hukum itu mesti lurus dan benar (recht moet recht zijn kata orang Belanda), sedangkan sang hakim (de rechter dalam Bahasa Belanda) karena itu juga mesti selalu berjalan lurus, lempang ke depan menuruti imperativa substantif isi hukum, tanpa boleh ada niat culas untuk berpikiran bengkok untuk berkelok ke kepentingan yang di kanan atau ke kepentingan yang di kiri.  Maka hakim itu mestilah selalu siap untuk "cuma" berperan sebagai -- demikian kata de Montesquieu -- la bouche qui prononce les paroles des lois semata.  

Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legalisme dari madhab hukum murni -- dan yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik peradilan -- itu adalah doktrin dan ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada suatu era tatkala proses demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan negara harus bisa dibatasi dan dikontrol oleh hukum.  Negara haruslah dikonstruksi sebagai 'negara hukum' dan bukan 'negara kekuasaan'.  Infrastruktur negara hukum tak pelak lagi adalah masyarakat warga (civil society), dan bukan masyarakat yang mengenal dikotomi kawula-Gusti.  Di tengah-tengah kehidupan masyarakat warga yang demikian itu, tidaklah sekelompok orang elit akan mungkin didewa-dewakan dan diistimewakan mengatasi yang lain, sedangkan yang lain dalam jumlah massal bolehlah diperkuda serta dipinggir-pinggirkan.  Di tengah kehidupan masyarakat warga, setiap manusia yang warga itu haruslah, menurut doktrinnya, diakui berkedudukan sama di hadapan hukum dan hakim.
            Akan tetapi, apa yang dicita-citakan demikian itu nyata kalau tidak selamanya dapat direalisasi; sedangkan apa yang telah diperikan di dalam konsep tidak selalu merupakan diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman di lapangan.  Dalam kenyataan, manusia itu nyata kalau tidak selalu berkemampuan sama untuk memperoleh kedudukan yang sama.  Maka, sekalipun menurut konsep hukumnya setiap manusia warga masyarakat dan warga negara itu dianggap berkedudukan sama, namun dalam realita kehidupan yang sudah bersifat serba kontraktual ini kesepakatan-kesepakatan yang terjadi antar-pihak tak selamanya mencerminkan perlindungan kepentingan yang berimbang.  Kerja hukum dan hakim yang menurut doktrinnya disyaratkan netral, dan tak boleh memihak, namun dalam kenyataannyapun sering berefek membiarkan (bertolak dari dalih "harus netral") terjadinya berbagai kesenjangan yang memperlihatkan betapa yang satu akan memperoleh lebih, sedangkan yang lain -- yang umumnya jumlahnya justru massal -- memperoleh kurang.
             Walhasil terjejas situasi seperti itu, dengan kontrol hukum yang didoktrinkan netral seperti itu, masyarakat yang ada gagal berkembang menjadi masyarakat warga.  Masyarakat tetap saja merupakan masyarakat yang berstratum-stratum, atau menjadi terstratum-stratum kembali, dengan kenyataan bahwa sejumlah warga selalu memperoleh peluang mendahulu untuk kian memapankan diri sedangkan sejumlah warga yang lain kian terdiskriminasi oleh keadaan.  Hukum dalam konsepnya sebagai hasil kesepakatan warga -- yang antar-warga individual (ialah kontrak) ataupun lebih-lebih lagi yang antar-warga sekelompok kepentingan dalam kehidupan nasional (ialah undang-undang) yang lebih berkonsekeuensi jauh -- tidak selamanya dapat memberikan perlindungan kepentingan secara berimbang.  Mereka yang berkedudukan lemah -- secara ekonomik, politik, sosial ataupun budaya -- akan selalu tertodong kewajiban hukum daripada terbela oleh hak-hak.  Sementara itu mereka yang berada pada posisi diuntungkan selalu saja terkesan gampang memperoleh hak dan sumberdaya institusional guna menegakkan hak-haknya.
            Dapat dimengerti, mengapa dalam keadaan seperti itu, legisme (dengan doktrin kepastian hukumnya sekalaipun!) akan lebih melindungi dan kian memapankan mereka yang memiliki kelebihan dana, informasi dan akses politik daripada mereka yang tak berkeadaan demikian.  Dapat dimengerti pula mengapa kehendak untuk "berhukum-hukum" dengan pilihan kuat untuk menyelesaikan segala perkara konflik ke pengadilan, dan/atau dengan cara mempercayakan kepada para pejabat administratif yang berwenang membuat keputusan (atas dasar hukum in abstracto dan/atau diskresi-diskresi), selalu saja lebih banyak berasal dari mereka yang mapan dan kaya akses itu.  Dengan struktur yang banyak memberikan akses kepadanya, kelompok mapan ini tentu saja berpamrih untuk terlestarikannya status quo, dan hukum yang didoktrinkan netral dan berkepastian dapatlah didayagunakan untuk maksud itu.
            Maka, dalam masyarakat yang penuh kesenjangan, hukum dengan doktrin kepastian hukum hanya akan memastikan hak-hak mereka yang -- dalam kehidupan yang belum sempurna ini -- telah berhasil mapan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki dana kekayaan, informasi dan akses politik yang amat terkawal.  Akses politik kaum mapan ini pada gilirannya juga akan dapat kian didayagunakan untuk menambahkan hak-hak bagi dirinya dan untuk membebankan kewajiban-kewajiban kepada mereka yang dikucilkan di luar sistem.  Salah-salah, asas rule of law dalam praktik tanpa dapat dielakkan lagi lalu menjadi tersimak sebagai the ruling by the ruler by (ab)using the law
            Dalam kenyataan seperti itu legisme tak lagi tampil sebagai ide dan ideologi revolusioner yang secara progresif akan mengilhami setiap upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih egalitarian.  Alih-alih begitu, legisme serta merta akan bersosok konservatif dengan kebijakan-kebijakannya yang kolot untuk mempertahankan kemapanan struktur, demi kelanggengan kepentingan para penguasa yang berhasil mengendalikan struktur demi kepentingannya sendiri yang relatif eksklusif dan penuh priveleges.  Dalam kenyataan sossiologik seperti itu pula hukum dan hakim akan kehilangan otonominya.  Hukum dan hakim akan terkooptasi ke dalam struktur kepentingan yang telah mapan, dan secara cepat atau lambat akan mendapatkan dirinya berada dalam fungsinya yang justru represif.  Apabila kenyataan seperti ini tidak segera dikoreksi untuk mengembalikannya ke asas-asas yang diajarkan dalam doktrin, maka maraknya mafia peradilan bukanlah berita bohong belaka.
            Boleh disimpulkan bahwa legisme yang positivistik, dengan ajaran hukum murni yang hendak menetralkan fungsi hukum, ternyata sangat disfungsional untuk diterapkan di negeri-negeri berkembang yang tengah membangun.  Dalam perkembangan mereaksi kenyataan seperti itu tergugahlah ide-ide alternatif yang menyarankan agar bukan doktrin positivisme tentang kepastian hukum yang mestinya difungsikan di sini, melainkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara.   Bukan logika hukum para yuris elit yang beroptik normatif saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in concreto.  Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan di sini, melainkan apa yang di Amerika Serikat dikenali sebagai aliran sociological jurisprudence, berikut perkembangannya yang dikenali sebagai ajaran functional jurisprudence.
            Maka di sini bukan sebatas good law yang sebenarnya paling diharapkan, melainkan good man yang berkepribadian arif dan realistik dalam ihwal menafsirkan bunyi undang-undang. .  Dialah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif.  Di tangan dan ditangani good man, baik yang duduk di kursi-kursi badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan, maka hukum itu (in abstracto maupun in concreto), akan nyata terbilang ke dalam bilangan 'hukum yang responsif' dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia-manusia warganegara, dan bukan lagi terbilang 'hukum yang represif', dengan fungsinya yang utama untuk melegitimasi secara berterusan kekuasaan negara yang tidak lagi tersenarai secara limitative melainkan secara enumeratif.
            Persoalannya sekarang: bagaimana cara membibit good man yang tak hanya cerdas dan berintelektual tinggi akan tetapi juga berkeberanian moral yang terpuji.  Cara pendekatan apa yang mestinya digunakan di sini?  Yang struktural lewat proses-proses politik demi terbenahinya sistem agar lebih kondusif bagi tumbuhkembangnya good persons?  Ataukah yang individual lewat pendidikan etika yang intens (etika politik untuk manusia legislatif dan etika profesi untuk mereka yang berkhidmat sebagai manusia yudisial!), yang akan diikuti oleh  rekrutmen yang sungguh selektif dan terbuka?  Ataukah kedua-duanya, kalaupun tidak akan sekaligus secara bersamaan tak pelak akan mendahulukan yang satu tanpa mengabaikan yang lain?
            Manakala kaum mapan telah terlanjur demikian mapan sehingga boleh dikatakan mereka itu telah sanggup mengontrol seluruh akses politik, yang dengan demikian tak akan memungkinkan terjadinya proses-proses dekonstruksi struktur, maka yang masih dimungkinkan tinggallah pendekatan strategik yang nonstruktural, ialah yang invidual lewat proses-proses pendidikan, khususnya yang nonformal dan informal.  Pendidikan adalah suatu front dalam suatu battle of the mind, yang -- sekalipun hasil ketentuannya harus ditunggu dalam rentang waktu yang agak panjang, namun -- merupakan suatu bagian dari suatu reformasi atau revolusi yang paling berbudaya, dan yang oleh sebab itu pula -- karena "hanya" berpeluru informasi pembangun sikap dan komitmen -- juga paling tidak berdarah. (Soetandyo Wignjosoebroto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

konstruktif please !