Kamis, 03 Februari 2011

SOSIALISME DAN DEMOKRASI

Pertalian antara demokrasi dan sosialisme merupakan satu-satunya unsur yang paling penting dalam pemikiran dan politik sosialis. Ditinjau dari segi sejarah sosialisme, segera dapat diketahui gerakan sosialis yang berhasil telah tumbuh hanya di negara-negara yang mempunyai tradisi-tradisi demokrasi yang kuat, seperti Inggris, Selandia Baru, Skandinavia, Belanda, Swiss, Australia, Belgia (William Ebenstein, 1994: 213). Mengapa demikian sebab pemerintahan yang demokratis dan konstitusional pada umumnya diterima, kaum sosialis dapat memusatkan perhatian pada programnya yang khusus, meskipun program itu tampak terlalu luas yakni: menciptakan kesempatan yang lebih banyak bagi kelas-kelas yang berkedudukan rendah mengakhiri ketidaksamaan yang didasarkan atas kelahiran dan tidak atas jasa, membuka lapangan pendidikan bagi semua rakyat, memberikan jaminan sosial yang cukup bagi mereka yang sakit, menganggur dan sudah tua dan sebagainya.
Semua tujuan sosialisme demokratis ini mempunyai persamaan dalam satu hal yaitu membuat demokrasi lebih nyata dengan jalan memperluas pemakaian prinsip-prinsip demokrasi dari lapangan politik ke lapangan bukan politik dari masyarakat. Sejarah menunjukkan, masalah kemerdekaan merupakan dasar bagi kehidupan manusia. Kemerdekaan memeluk agama-kepercayaan, mendirikan organisasi politik dan sebagainya merupakan sendi-sendi demokrasi. Jika prinsip demokrasi telah tertanam kuat dalam hati dan pikiran rakyat, maka kaum sosialis dapat memusatkan perhatian pada aspek lain. Sebaliknya, di Negara yang masih harus menegakkan demokrasi, partai sosialis harus berjuang untuk dapat merealisasikan ide tersebut. Misalnya di Jerman masa kerajaan kedua (1870-1918) yang bersifat otokratis, partai sosialis demokratis senantiasa bekerja dengan rintangan yang berat. Lembaga parlementer hanya sebagai selubung untuk menutupi pemerintahan yang sebenarnya bersifat diktaktor. Pada masa Bismarck berkuasa, kaum sosialis demokrasi dianggap sebagai” musuh-musuh Negara”, dan pemimpin partai yang lolos dari penangkapan melarikan diri ke Inggris dan Negara Eropa lainnya. Demikian pula pada masa republik Weiner (1919-1933), partai sosial demokratis Jerman juga tidak berdaya karena tidak ada pemerintahan yang demokratis.
Di Rusia sebelum 1917, keadaan lebih parah lagi, Rezim Tsar yang despotis malahan sama sekali tidak berpura-pura dengan masalah pemerintahan demokratis. Jadi tidak mungkin ada perubahan sosial dan ekonomi dengan jalan damai, sehingga apa yang terjadi ialah revolusi oleh kaum komunis.
Perang Dunia (PD) II memberikan gambaran lebih jelas tentang masalah di atas. Menjelang tahun 1936 partai sosialis di Perancis merupaksn partai yang terkuat. Selama PD II di bawah kedudukan Jerman, kaum komunis lebih banyak bergerak di bawah tanah, mengadakan teror dan bertindak di luar hukum sebagaimana sifatnya dalam keadaan normal pun juga demikian, memperoleh pengikut yang lebih banyak, sehingga menjadi partai yang terkuat di Perancis.
Berbeda dengan yang berada di Inggris, kaum sosialis dalam pemilihan umum tahun 1951, memperoleh suara 6 kali pengikut yang lebih banyak jumlahnya apabila dibandingkan dengan suara yang didapat kaum komunis. Bukti tersebut tidak hanya diberikan oleh Inggris Raya, tetapi juga oleh Negara-negara demokratis lainnya yang mempunyai gerakan–gerakan sosialis yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sipil yang penuh dapat menangkal fasisme dan komunisme .
Apabila orang ingin memberikan tingkat kepada Negara-negara demokratis dewasa ini, terutama dalam masalah kemerdekaan sipil, maka Inggris, Norwegia, Denmark, Swedia, Belanda, Belgia, Australia, Selandia Baru dan Israel akan berada di Puncak daftar. Di Negara itu dalam masa terakhir berada di bawah pemerintahan sosialis atau kabinet-kabinet koalisi yang di dalamnya kaum sosialis memperoleh perwakilan yang kuat (William Ebenstein,1994: 215).
Kesejajaran di atas tidaklah rumit untuk ditelusuri, kaum sosialis demokratis menyadari akan kenyataan bahwa, tanpa kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh pemerintahan konstitusional yang liberal mereka tidak akan sampai pada tangga pertama. Sekali mereka berkuasa dalam pemerintahan, kaum sosialis masih tetap mempertahankan psikologi oposisi. Sebab mereka tahu bahwa dengan memegang kekuasaan politik belum berarti soal-soal organisasi sosial dan ekonomi dengan sendirinya akan terpecahkan . Dengan kata lain, sebelum kaum sosialis mengambil alih pemerintahan, mereka beroposisi terhadap pemerintah dan kelas-kelas yang berpunya; setelah mereka mendapat kekuasaan dalam pemerintahan, psikologi oposisi yang ditunjukkan terhadap status quo ekonomi perlu tetap ada.
Demokrasi dan sosialilsme merupakan dua ideologi yang sekarang nampak diannut di berbagai Negara yang bukan Fasis dan bukan Komunis. Dalam keadaan sekarang tidak mudah merumuskan pengertian demokrasi . Berbagai macam demokrasi telah berkembang menjadi berbagaai bentuk masyarakat. Demokrasi Inggris modern atau demokrasi Swedia lebih dekat dalam beberapa hal pada sosialisme Negara di Soviet Rusia dibandingkan dengan sistim ekonomi Amerika Serikat . Akan tetapi dalam soal-soal perorangan dan kemerdekaan politik hal sebaliknya yang berlaku . Berbeda lagi yang ada di Amerika Serikat mungkin dapat disebut “demokrasi kapitalis”. Disebut demikian karena yang tampak hanya demokrasi politik, tetapi tidak cukup ada apa yang dinamakan demokrasi ekonomi dengan tetap adanya freefight ekonomi yang memungkinkan beberapa gelintir orang menjadi kapitalis yang amat kaya .
Demokrasi ekonomi dan disamping itu demokrasi sosial dapat diketemukan dalam idiologi sosialisme, yang pada prinsipnya menjurus kepada suatu keadilan sosial dengan semboyan : kepada seorang harus diberikan sejumlah yang sesuai dengan nilai pekerjaanya. Akan tetapi untuk mencapai itu, pemerintah sering harus campur tangan dengan membatasi keluasaan gerak-gerik para warganegara. Sampai di mana ini berlaku, tergantung dari keadaan setempat di tiap-tiap Negara ( Wiryono P., 1981: 137) .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sosialisme hanya dapat berkembang dalam lingkungan masyarakat dan pemerintahan yang memiliki tradisi kuat dalam demokrasi . Pada saat kaum sosialis berhasil memegang kekuasaan, pemerintahan masih tetap diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk ikut ambil bagian ( sebagian oposisi) ) dan mereka juga menyadari bahwa kekuasaan yang diperoleh tidak bersifat permanen .

Selasa, 01 Februari 2011

Negara, Hukum Islam dan Minoritas di Indonesia

Negara, Hukum Islam, dan Agama Minoritas di Indonesia
Pengarang: Muhamad Ali, Ph.D Asisten profesor, Departemen Studi Keagamaan,
University of California, Riverside
Bagaimana Negara dan masyarakat sipil bernegosiasi syariat dan hukum sipil di Indonesia yang pluralistik modern? Mengapa sulit bagi suatu kompromi yang menyenangkan semua orang? Negara terus berfungsi sebagai kekuatan yang sah untuk menghasilkan undang-undang di mana syariat telah memberikan kontribusi dan untuk menyesuaikan diri dalam mayoritas Muslim belum, bangsa yang majemuk. Ketegangan dan negosiasi antara berbagai elemen pemerintah dan masyarakat sipil, hasil dari pertemuan duree panjang di Timur Tengah (termasuk Mediterania), Eropa, dan Asia di kepulauan Indonesia. Sejarah budaya hukum dan interaksi antar agama dalam konteks lokal mengungkapkan berbagai dampak dan perubahan kekuatan global. Indonesia, yang disebut sebagai "umat di bawah angin", atau Jawi oleh orang-orang di Mekah, menjadi bagian dari Asia Tenggara setelah Perang Dunia II, saat ini digambarkan sebagai negara muslim terbesar di dunia, meskipun secara geografis dan dilihat agama "perifer "dalam kaitannya dengan pusat Islam, Timur Tengah. Namun, Indonesia telah menjadi persimpangan dari berbagai agama dan budaya yang berasal dari Timur Tengah, Asia, Afrika, Eropa, dan baru-baru Amerika Serikat. Koneksi dan pemutusan antara benua berlaku di kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan 300 kelompok etnis dan 6 agama besar. Adapun Kekaisaran Ottoman, itu adalah Aceh yang memiliki terdekat, meskipun perubahan hubungan dengan Ottoman, dari abad ke-16 hingga abad ke-19 (misalnya, Aceh pengakuan kekhalifahan Ottoman, meminta teknologi artileri, dalam pertukaran mutiara dan berlian, sehingga komersial, budaya, dan interaksi agama); Selain yang terhubung ke India, dicontohkan oleh kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, Nusantara menjadi agama Islam secara bertahap melalui Mekkah dan Madinah, tetapi lebih penting melalui Mesir. Kedatangan kekuatan kolonial (Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang) memiliki dampak yang abadi pada budaya politik, administrasi, hukum, dan agama penduduk. Selama masa kolonial akhir, di awal abad 20, ekonomi dunia dan kapitalisme cetak menyebabkan munculnya sosialis, nasionalis, dan organisasi Islam. Pan-Arabisme, dan pan-Islamisme (khalifah) mencoba menembus pasar Indonesia ide-ide melalui siswa yang kembali dan guru dan buku-buku, tapi mereka tidak berhasil. Sebaliknya, lokal, organisasi berbasis Java didirikan-dengan Islam sebagai semangat dan etika daripada ideologi politik trans-lokal. MUHAMMADIYAH adalah organisasi modernis mengadopsi dan mengadaptasi sistem pendidikan dan organisasi Belanda, termasuk cara berpakaian dan apa bahasa untuk digunakan dalam khotbah masjid. Nahdlatul Ulama (Kebangkitan para Cendekiawan Islam, NU) muncul sebagai respon terhadap modernisme yang, mencoba untuk melestarikan cara-cara tradisional misi dan pendidikan. Muslim di bawah pendudukan mengajukan pertanyaan mengenai status yang tunduk pada orang kafir (kafir) penguasa. Banyak beralasan dengan mengutip ulama abad pertengahan Sunni Al-Ghazali: "lebih baik berada di bawah hanya kafir dari bawah percaya tidak adil." Mereka pasti berbagai tanggapan kolonialisme, tetapi umat Muslim menafsirkan Sha'ria tidak dengan cara kaku.
Pada tahun 1928, konferensi Nahdlatul Ulama di Jawa mengeluarkan fatwa mereka sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan tentang agama-agama lain dan praktek yang dianggap sebagai pengaruh asing. Salah satu pertanyaan adalah: "Apa pendapat NU tentang memakai celana panjang, dasi, sepatu, dan topi?" Konferensi NU umum menjawab dengan cara sebagai berikut, yang kemudian menjadi fatwa nya: "Jika seseorang memakai ini dengan tujuan untuk meniru dan mengikuti jalan orang-orang kafir (kafir) dan untuk mempromosikan ketidakpercayaan mereka, maka orang menjadi kafir. Jika ia tidak memiliki niat sama sekali untuk meniru kafir (hanya mengenakan ini atau itu) dan untuk mengikuti jalan mereka, maka tindakan itu tidak dilarang. Namun demikian, dianggap tidak diinginkan (makruh) "ini menunjukkan bagaimana mereka yang membangun ide-ide asing dan simbol yang oke dan yang tidak baik-baik saja..
Independen Republik Indonesia diadopsi dan diadaptasi abad jenis berbeda seperti pengaruh dalam membuat undang-undang. Pemerintah dan wakil rakyat terus mengatur perbedaan berdasarkan berbagai penanda identitas dan perubahan komunal, khususnya etnis, kelas, dan agama. Jadi hukum yang telah selamat hari ini adalah pluralistik, gambar dari berbagai sumber, pra-kolonial (umumnya disebut adat, ADAT), kolonial, dan Islam (terutama yang berkaitan dengan umat Islam) sebagai hasil dari sejarah panjang interaksi. Dengan berakhirnya sistem kekhalifahan pada tahun 1924, Muslim dan non-Muslim minoritas mendukung negara-bangsa modern. Perdebatan paling awal adalah tentang apakah atau tidak Islam akan menjadi Konstitusi. Dengan demikian, kontroversi Piagam Jakarta muncul tentang apakah atau tidak Konstitusi mencakup kewajiban umat Islam dalam mengikuti syariat. Dalam hal apapun, Indonesia melihat hukum baik sebagai prinsip dan mekanisme untuk mengelola pluralisme dan ketertiban memastikan, namun pada saat yang sama, hukum menjadi sebuah situs wacana perdebatan yang melibatkan pemerintah dan masyarakat sipil. Hukum dan ketertiban sangat erat terjalin, tetapi gangguan dan kadang-kadang kekerasan telah menjadi wacana yang berkaitan dengan hukum dan perjuangan.
Dalam waktu pasca-kolonial, pluralisme hukum Indonesia adalah dimanifestasikan terutama dalam prosedur eklektik: Roma kolonial Belanda hukum (meskipun Belanda kemudian berlangganan ke hukum perdata Perancis), budaya hukum lisan (ADAT, hukum adat), dan Islam- terutama Sunni dan Syafi'i. Karena Islam atau syariat tidak memberikan prosedur hukum rinci, hukum perdata Belanda berasal telah menjadi sumber utama untuk prosedur tersebut. Syariat terutama berkaitan dengan beberapa hal dalam negeri, seperti perkawinan, perceraian, dan warisan. Secara bertahap Muslim syariat berpikiran berusaha memasukkan lebih lanjut, termasuk pengadilan syariat (terlepas dari pengadilan sipil), pengumpulan zakat dan distribusi, manajemen haji, dan perbankan tanpa bunga. Baru-baru ini, desentralisasi-setelah 32 tahun sentralisasi, telah menyebabkan beberapa kabupaten untuk membuat undang-undang berbasis Islam, tentang berpakaian, perjudian, narkoba, dan isu-isu moral.
UU Perkawinan Tahun 1974, misalnya, harus dilaksanakan bagi umat Islam melalui Pengadilan Islam dan non-Muslim melalui Pengadilan Negeri. UU ini menyatakan usia minimum pengantin pria (19 tahun) dan pengantin perempuan (16 tahun). Departemen Agama mendaftar Muslim, dan Kantor Catatan Sipil non-Muslim. Prinsipnya adalah monogami, tetapi poligami tidak dilarang dengan persetujuan istri sebelumnya atau pengadilan dengan beberapa persyaratan (keuangan dan hanya pengobatan). Perceraian adalah dengan keputusan pengadilan. Hukum tidak mengijinkan pernikahan beda agama, dan ini dan lain-lain telah menjadi kontroversial. Perdebatan tentang formalisasi hukum Islam di tingkat nasional dan lokal, adalah refleksi dari sebuah pengaruh yang semakin meningkat dari ide-ide global, termasuk dengan revolusi Iran, gerakan global khalifah, gerakan Islam global untuk anti-imperialisme dan neo-neo -liberalisme, dan lebih baru-baru ini sentimen global kolonialisme anti-Amerika di Timur Tengah. Namun, manifestasi dari ide-ide global tersebut tetap berada dalam batasan lokal dan nasional.
Di provinsi otonomi ACEH, misalnya, karena sejarah yang unik, pemerintah pusat memungkinkan untuk mengejar formalisasi hukum Islam. Mereka memiliki hukum daerah (Perda) untuk menangani berbagai aspek kehidupan pribadi dan masyarakat muslim, tidak termasuk non-Muslim. Ada dewan polisi syariat dan moralitas mengendalikan doa orang-orang, puasa, hubungan seksual, perjudian, dan sejenisnya. Kodifikasi hukum lokal (qanun) berurusan dengan pengadilan Islam (pernikahan, warisan, wakaf, amal, transaksi ekonomi) termasuk jenis hukuman penjara atau denda (ta'zir, diyat, tidak secara langsung berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah). Qanun menetapkan bahwa non-Muslim, meskipun tidak tunduk pada hukum Islam, wajib menghormati pelaksanaan Hukum Islam di Aceh .. Aturan Acehness lokal berurusan dengan kebid'ahan, menghujat, dan kemurtadan (murtad) menunjukkan pengaruh peningkatan otoritas keagamaan dalam mengendalikan iman orang-orang, dengan harapan konservatisme keagamaan dan ketertiban sosial, tetapi tanpa harus mempertimbangkan hak-hak minoritas dan Konstitusi Indonesia. Bagi banyak orang Indonesia di luar Aceh, formalisasi hukum Islam belum tentu merupakan Islam, atau dirancang atas dasar Pancasila pluralistik. Bagi banyak orang, itu adalah politisasi agama untuk kepentingan identitas dan kekuasaan.
Indonesia telah juga sebuah situs dan pasar Pergerakan Islam global menekankan perjuangan Islam (Jihad) atau panggilan Islam (dakwah), seperti Hizbut Tahrir (Indonesia) asal Palestina, dan Jama'at Tabligh asal India, Wahhabisme dari asal Saudi, untuk nama yang paling populer, meskipun jumlah mereka relatif kecil tetapi vokal. Di antara wacana-wacana politik yang begitu banyak di Indonesia, Darul Harb versus Darul Islam sekarang ini tidak lagi digunakan; Indonesia telah dilihat oleh banyak umat Islam jika tidak paling sebagai Darul Islam atau Darul al-Sulh (Abode of Peace). Konsep klasik dan abad pertengahan dari pen-dhimmi dihidupkan kembali oleh beberapa, tetapi ide dan permohonan tersebut tampaknya tidak jelas dan tidak realistis. Ada beberapa gerakan Islam yang melihat Konstitusi Madinah sebagai model untuk suatu Negara, pluralistik toleran, tetapi sejarah Muhammad dan umat Islam Indonesia berbeda. Lain arahkan ke Muslim Spanyol (Convivencia) ketika berbicara tentang koeksistensi kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi, tetapi konflik Israel-Palestina masih belum terselesaikan menaungi semangat harmoni, dan sebaliknya seringkali dipenuhi dengan ketegangan dan prasangka.
Global dan ide-ide Islam dan isu menjadi lokal, berkat teknologi komunikasi, dan Indonesia sedikit benar-benar menjadi terlibat dalam perjalanan ke negara-negara lain. Ketika mereka belajar atau bepergian ke luar negeri, paling cenderung untuk pulang. Namun, meskipun jumlah kecil diaspora Indonesia, umat Islam Indonesia tidak menemukan kontradiksi signifikan antara solidaritas Islam (Umma), solidaritas nasional (Watan), dan internasional, solidaritas humanistik (Basyar). Ada gerakan menuju nasionalisasi syariat, yang berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda, tetapi menunjukkan bagaimana Islamisasi, globalisasi, dan nasionalisme dianggap tidak bertentangan dan malah memperkuat satu sama lain. Dengan kata lain, secara umum, Indonesia mengalami beberapa proses dan multifaset: Localization, Arabisasi, dan westernisasi. Masih adanya Ideologi Negara Pancasila dan UUD 1945 sampai saat ini menunjukkan bagaimana dunia ideologi (tauhid, humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme) memiliki kekuatan mereka dan relevansi dengan pembangunan bangsa. Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama (tetapi definisi dan limit telah diperebutkan) memberikan Indonesia dengan dasar untuk membenarkan tindakan mereka terhadap satu sama lain. Di pengadilan, pidato politik, laporan ilmiah, pemimpin dan orang mencoba tindakan penyeimbangan: Indonesia menjadi negara yang tidak Islam, atau jenis murni negara sekuler Barat, tetapi bukan Negara Pancasila, yang menjamin kebebasan agama, tetapi mendukung perkembangan agama penduduk. Menurut laporan resmi, Indonesia bukan Negara teokrasi dalam arti bahwa Konstitusi Negara tidak didasarkan atas atau sumbernya berasal dari hukum agama tertentu. Dengan cara yang sama, itu bukan negara sekuler dalam arti bahwa pemerintah netral terhadap pembangunan dan mendorong kehidupan keagamaan masyarakat. Negara Indonesia tidak mengenali komunisme dan ateisme. Pada tingkat semi-pemerintah, ada dewan bagi para pemimpin agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dewan Ulama, misalnya, telah mengeluarkan Fatwa mereka mengenai "minoritas", fatwa yang tidak mengikat secara hukum tetapi sering terdengar oleh banyak orang. Sebagai contoh, Dewan mengeluarkan fatwa mengutuk pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme dalam definisi mereka (pluralisme adalah untuk percaya bahwa semua agama adalah sama, liberalisme adalah dengan menggunakan alasan di atas wahyu, dan sekularisme adalah memisahkan duniawi dari agama).
Mereka juga mengutuk Ahmadiyyah Qadiani (India) sebagai sesat dan ketegangan dan kekerasan terhadap pengikutnya meletus di berbagai wilayah Indonesia. Kontemporer Indonesia telah menyaksikan berbagai Debat Antar Agama: Agama Misi (Kristenisasi versus Islamisasi), tempat Minoritas Cina, UU Perkawinan (perkawinan antar-agama), UU Pendidikan Nasional (pendidikan agama di sekolah umum), Perayaan Natal Bersama, dan membangun rumah agama. Penolakan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi beberapa kelompok liberal untuk mencabut Undang-undang Blasphemy tahun 1965, melarang penafsiran agama yang tidak sesuai dengan mainstream, cerita yang kompleks dalam dirinya sendiri, mengungkapkan bagaimana mentalitas mayoritas (takut perbedaan agama menyebabkan gangguan sosial) masih berlaku. interpretasi agama tunduk pada UU, tapi UU yang menjamin rasa aman (berdasarkan ancaman yang dirasakan atau nyata yang ditimbulkan oleh musuh jauh dan dekat). tanggapan yang berbeda oleh umat Islam lain dan non-Muslim terhadap formalisasi Hukum Islam dan Undang-Undang Penodaan telah muncul: Ada yang bilang, Indonesia bukanlah negara Arab (dengan demikian, ketegangan antara Arabisasi langsung versus Indonesianisasi); lain mengatakan bahwa formalisasi hukum Islam bertentangan dengan Pancasila sekuler dan kebebasan beragama dijamin oleh UUD 1945, yang lain berpendapat bahwa Qur'an tidak memiliki rincian tentang jenis pemerintahan dan bahwa apa yang penting adalah substansi dan semangat-seperti tujuan melindungi iman, alasan , semangat, keluarga, dan properti. Lain menunjukkan bahwa kategorisasi umat Islam sebagai mayoritas dan minoritas lain sebagai tidak adil terhadap keragaman di kalangan mayoritas sendiri-seperti dalam kasus Muslim mengkritik formalisasi hukum Islam di Aceh dan di beberapa bagian Indonesia, dan pelestarian Undang-undang Blasphemy tahun ini.
Kesimpulannya, negosiasi syariat dan hukum sipil di Indonesia terkait dengan beberapa kekuatan, panjang dan pendek dan proses, ketegangan memungkinkan dan koeksistensi identitas dan budaya. Manajemen Negara perbedaan tidak bisa dipahami tanpa menyelidiki kekuatan dan batas-batas ide global dan lokal dan jaringan dalam konteks lokal tertentu. Apa kasus Indonesia dapat berkontribusi dengan perspektif sejarah dunia kita dari pertemuan adalah bahwa dengan runtuhnya kekhalifahan Ottoman, dan setelah perang dunia II, agama dan nasionalisme, atau Islam dan kewarganegaraan, berinteraksi dengan ketegangan dan integrasi tergantung pada lembaga sosial-politik dan konteks, dengan cara yang Nabi Muhammad sendiri dan Muslim khalifah tidak pernah diantisipasi.
(Makalah ini dipresentasikan pada panel "Confessional Hukum Masyarakat dan Budaya di Mediterania dan Beyond", Konferensi World History, University of California Riverside, 14-15 Mei, 2010)

Minggu, 30 Januari 2011

Ciri Orang Besar Memulai Perubahan

Pagi  yang indah selalu dihadirkan Allah SWT untuk kita yang memiliki keterpautan hati dan bisa merasakan betapa besar Cinta-Nya pada hambanya. Mata yang masih bisa melihat Keindahan itu, udara yang masih bisa kita hirup, aliran darah dan denyut nadi yang masih bisa kita rasakan, menunjukkan jika kita masih diberi eksistensi oleh-Nya.  Rasulullah SAW yang melihat umatnya dari syurga Firdaus-Nya, mendoakan kita yang tak kenal letih memperjuangkan risalah dakwah untuk kejayaan Islam di Bumi Allah ini. Semoga kelak kita semua dikumpulkan bersama Baginda Rasul dan para keluarga serta sahabat.
Terkadang kita ini terlalu banyak menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sesuatu di luar diri kita. Juga terlalu banyak energi dan potensi kita untuk memikirkan selain diri kita, baik itu merupakan kesalahan, keburukan, maupun kelalaian. Namun ternyata sikap kita yang kita anggap kebaikan itu tidak efektif untuk memperbaiki yang kita anggap salah. Banyak orang yang menginginkan orang lain berubah, tapi ternyata yang diinginkannya itu tak kunjung terwujud. Kita sering melihat orang yang menginginkan Indonesia berubah. Tapi, pada saat yang sama, ternyata keluarganya ‘babak belur’, di kampus tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Itu namanya terlampau muluk.
Jangankan mengubah Indonesia, mengubah keluarga sendiri saja tidak mampu. Banyak yang menginginkan situasi negara berubah, tapi kenapa merubah sikap adik saja tidak sanggup. Jawabnya adalah: kita tidak pernah punya waktu yang memadai untuk bersungguh-sungguh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini tidak mutlak benar. Tapi jawaban ini perlu diingat baik-baik.  Siapa pun yang bercita-cita besar, rahasianya adalah perubahan diri sendiri. Ingin mengubah Indonesia, caranya adalah ubah saja diri sendiri. Betapapun kuatnya keinginan kita untuk mengubah orang lain, tapi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, semua itu menjadi hampa. Setiap keinginan mengubah hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau tidak dimulai dari diri sendiri. Orang di sekitar kita akan menyaksikan kesesuaian ucapan dengan tindakan kita.
Boleh jadi orang yang banyak memikirkan diri sendiri itu dinilai egois. Pandangan itu ada benarnya jika kita memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga hanya untuk diri sendiri. Tapi yang dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas.  Perumpamaan yang lebih jelas untuk pandangan ini adalah seperti kita membangun pondasi untuk membuat rumah. Apalah artinya kita memikirkan dinding, memikirkan genteng, memikirkan tiang yang kokoh, akan tetapi pondasinya tidak pernah kita bangun. Jadi yang merupakan titik kelemahan manusia adalah lemahnya kesungguhan untuk mengubah dirinya, yang diawali dengan keberanian melihat kekurangan diri.
Pemimpin mana pun bakal jatuh terhina manakala tidak punya keberanian mengubah dirinya. Orang sukses mana pun bakal rubuh kalau dia tidak punya keberanian untuk mengubah dirinya. Kata kuncinya adalah keberanian. Berani mengejek itu gampang, berani menghujat itu mudah, tapi, tidak sembarang orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri. Ini hanya milik orang-orang yang sukses sejati.  Orang yang berani membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Orang yang berani membincangkan orang lain, itu tidak istimewa. Sebab itu bisa dilakukan oleh orang yang tidak punya apa-apa sekali pun. Tapi, kalau ada orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri, bertanya tentang kekurangan itu secara sistematis, lalu dia buat sistem untuk melihat kekurangan dirinya, inilah calon orang besar.
Mengubah diri dengan sadar, itu juga mengubah orang lain. Walaupun dia tidak berucap sepatah kata pun untuk perubahan itu, perbuatannya sudah menjadi ucapan yang sangat berarti bagi orang lain. Percayalah, kegigihan kita memperbaiki diri, akan membuat orang lain melihat dan merasakannya. Memang pengaruh dari kegigihan mengubah diri sendiri tidak akan spontan dirasakan. Tapi percayalah, itu akan membekas dalam benak orang. Makin lama, bekas itu akan membuat orang simpati dan terdorong untuk juga melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ini akan terus berimbas, dan akhirnya semakin besar seperti bola salju. Perubahan bergulir semakin besar.
Jadi kalau ada orang yang bertanya tentang sulitnya mengubah keluarga, sulitnya mengubah anak, jawabannya dalam diri orang itu sendiri. Jangan dulu menyalahkan orang lain, ketika mereka tidak mau berubah. Kalau kita sebagai ustadz, atau kyai, jangan banyak menyalahkan santrinya. Tanya dulu diri sendiri. Kalau kita sebagai pemimpin, jangan banyak menyalahkan bawahannya, lihat dulu diri sendiri seperti apa.  Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan banyak menyalahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara negara gigih memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan. Insya Allah, walaupun tanpa banyak berkata, dia akan membuat perubahan cepat terasa, jika berani memperbaiki diri. Itu lebih baik  dibanding banyak berkata, tapi tanpa keberanian menjadi suri teladan.  Jangan terlalu banyak bicara. Lebih baik bersungguh-sungguh memperbaiki diri sendiri. Jadikan perkataan makin halus, sikap makin mulia, etos kerja makin sungguh-sungguh, ibadah kian tangguh. Ini akan disaksikan orang.
Membicarakan dalil itu suatu kebaikan. Tapi pembicaraan itu akan menjadi bumerang ketika perilaku kita tidak sesuai dengan dalil yang dibicarakan. Jauh lebih utama orang yang tidak berbicara dalil, tapi berbuat sesuai dalil. Walaupun tidak dikatakan, dirinya sudah menjadi bukti dalil tersebut. Mudah-mudahan, kita bisa menjadi orang yang sadar bahwa kesuksesan diawali dari keberanian melihat kekurangan diri sendiri. Jadi teringat  kutipan kata bijak dari sebuah buku seperti ini:
Jadilah kau sedemikian kuat sehingga tidak ada yang dapat mengganggu kedamaian pikiranmu
Lihatlah sisi yang menyenangkan dari setiap hal
Senyumlah pada setiap orang
Gunakanlah waktumu sebanyak mungkin untuk meningkatkan kemampuanmu sehingga kau tak punya waktu lagi untuk mengkritik orang lain
Jadilah kau terlalu besar untuk khawatir dan terlalu mulia untuk meluapkan kemarahan
Satu-satunya tempat dimana kita dapat memperoleh keberhasilan tanpa kerja keras adalah hanya dalam kamus.
Di awal tahun, awal bulan dan awal minggu (Jum’at adalah awal minggu bagi umat Islam), ayo kita semua mulai memperbaiki diri. Suatu karya besar selalu diciptakan oleh orang-orang yang berfikir besar. Namun perubahan besar pasti dimulai dari satu langkah kecil, dan itu dimulai dari diri kita masing-masing.
Wallahualam bishowab

Kamis, 30 Desember 2010

DILEMA PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

BAB I
 PENDAHULUAN
            Segala puji kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugrah-Nya yang berupa nikmat  serta hidayah kepada kami sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam kami panjatkan kepada Allah untuk disampaikan kepada Nabiyullah serta suri teladan umat islam yakni Nabi Muhammad SAW dengan melafazkan Allahumma shalli ala Muhammad waala ali Muhammad. Mudah-mudah kita mendapatkan syaffatnya di akhirat kelak dengan seizing-Nya, amin.
LATAR BELAKANG
Berbicara tentang penerapan syariat Islam, kita akan segera teringat pada berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah lelah menyuarakan diberlakukannya syariat Islam, mulai dari mereka yang tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan penerapan itu sekarang juga sampai pada yang memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya. Ini menunjukkan bahwa dikalangan internal Islam sendiri terdapat berbagai fersi yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu kemungkinan diberlakukannya syari’at Islam di Indonesia.  
Perdebatan mengenai peluang penerapan syariat (hukum Islam) di Indonesia, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD. Dua fraksi partai Islam yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan umum mereka bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Batang Tubuh UUD 1945, khususnya pasal 29.
Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal baru. Ia telah sejak lama dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Pada tingkat lokal, syariat Islam juga diberlakukan di Zamfara, sebuah provinsi di Nigeria. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud). Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap menerapkan syariat Islam atau tidak.
Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga negara dalam menjalankan ibadahnya. fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antarumat beragama. Agama haruslah menjadi landasan moral.Secara normatif, menjalankan syariat Islam secara kaffah merupakan perintah Allah, dan mengabaikannya dikategorikan sebagai manusia kafir, zalim, atau fasik.
Dalam benak beberapa kelompok Islamis, hukum Islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i. Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat Islam secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu penerapan hukum Islam ini.
MASALAH
            Kita umat islam sangat membutuhkan suatu perubahan total yang mampu mengubah sistem yang telah ada menjadi sistem Islami. Umat Islam di seluruh dunia dijerat sistem jahiliyah yang setiap saat siap menghancurkan Islam, tanpa kita menyadarinya. Sistem hukum, politik, sosial, ekonomi, pertahanan keamandan sebagainya telah dikuasai musuh-musuh Islam. Apakah kita masih ragu dengan kenyataan ini ? apakah kita masih dapat tidur nyenyak sementara mereka selalu siap menerkam untuk memusnahkan kita ? kita tidak perlu membentangkan rencana kerja dan hasil yang telah dicapai. Karena, bagi setiap umat Islam yang senantiasa berpegang pada petunjukNya, akan cepat menyadari betapa kita telah lalai sehingga terlelap dalam sistem sekuler dan kita harus bangkit untuk mengejar ketinggalan dan kelemahan kita. Sudahkah terfikir oleh kita, sampai sejauh mana kita diseret dan ditendang dalam lembah kehinaan. Tak terlihat nyata namun ada, karena terbungkus rapi, berlindung pada masalah sosial dan kemanusiaan. Inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, kecuali oleh segolongan umat yang telah dirusak oleh zaman, dan telah dibuai janji kosong, yang telah merasakan nikmt hidup diatas mayat umat yang telah hancur berantakan.
TUJUAN
            Syariat Islam sebagai suatu aspek dari ajaran islam yang universal dan komprehensif sering digambarkan secara keliru oleh sebagian orang, khususnya ahli hokum konvensional. Hokum Islam sering dipandang dari satu sisi saja, tanpa melihat sisi lain yang terpisah dari sisi pertama. setiap mendengar ungkapan ‘Hukum Islam’, maka yang tersirat dalam benak mereka tidak lebih dari sekedar hokum potong tangan, hokum rajam, dan qishash yang dapat dikategorikan sebagai vonis. Kalau dilihat sepintas, semua vonis memang akan menimbulkan kesan yang kurang enak bagi hukum Allah tersebut dan sering mendapat sorotan tajam dari kalangan nonislam seperti orientalis, politisi barat, dan sebagian umat islam yang telah termakan oleh ide orientalis. Mereka menggambarkan hukuman tersebut sebagai sesuatu yang kejam dan tidak sesuai dengan peradaban modern. Hal inilah yang akan kami telaah dan kritisi untuk mengubah paradigma negatif tersebut, agar bagaimana syariat islam tidak dilihat dari satu sisi saja, akan tetapi akan lebih objektif jika disinkronkan dengan sisinya yang lain.

LANDASAN TEORI
            Pada karya tulis ini kami menggunakan Al-Qur’an sebadai landasan teori dan beberapa buku sebagai referensi pelengkap.


BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Penerapan Hukum

1. Syariat Islam Tentang Penataan Hukum
Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan. Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang beriman agar menjalankan hukumnya.
Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul-Nya.
Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia.
Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an. Ia merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah. Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Qur’an dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia, melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah. Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas. Apabila mengabil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik. Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-norma  hukum adat atau hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga. Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
2. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams, mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hukum -hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati.

Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam. Bahkan – sebagaimana dikatakan Gibb – hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.
3. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)
Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg. Ia mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam.
Teori RIC menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie.
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih – yang dianggap representatif – telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).

4. Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal dengan Islam Policy. Rumusan kebijakan terhadap hukum Islam antara lain; (1) dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam. (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku. (3) dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Dr. Alfian, teori receptive berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan.
5. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hazairin menyebut teori Receptie adalah “teori iblis”.
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum nasional.
Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan Otoritas Hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.
6. Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.
Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam.

7. Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A, yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3) norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.
Analisis Filosofis Penerapan Hukum Islam
Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum yang di cita-citakan.

Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan positifasi syariat Islam menjadi hukum nasional, mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya, keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.
Juhaya S. Praja – pendapatnya dalam merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum nasional – mengatakan bahwa, walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai pengaruh cukup besar.

Pendapat yang berbeda disampaikan Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa diamalkan. Ia juga mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan agama dengan kekuasaan.
Syariat Islam selama ini masih dipahami – oleh sebagian orang – sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat Islam sebagai hukum Islam diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontraproduktif ketika bengsa ini hendak memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Kesalahpahaman tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Kekuatan syariat Islam dalam menata ketertiban dan kedamaian masyarakat selain yang bersifat normatif dalam bidang ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu, hukum pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum positif.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, kami dapat mengatakan bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu bila syariat Islam tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat Islam secara individual memang hanya bisa pada tataran normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum Islam yang berhubungan dengan hukum publik, memang tetap mesti ada campur tangan negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat mendukung proses implementasinya.


Faktor Pendukung dan Kendala Penerapan Hukum Islam
1. Faktor-faktor Pendukung Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;
  1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
  2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
  3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
  4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
  5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
2. Kendala-Kendala dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut;
  1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
  2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
  3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
  4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.

Jumat, 24 Desember 2010

HUKUM, KEBEBASAN, KEKUASAAN


Dalam setiap situasi krisis, fungsi hukum sebagai sarana kontrol (demi tertibnya kehidupan) tanpa dapat dielakkan akan selalu dipertanyakan kembali. Mengapa sampai terjadi krisis? Apakah hukum sudah tak lagi mampu berfungsi dengan baik sehingga krisis terjadi dalam kehidupan ini? Haruskan oleh sebab itu, demi teratasinya krisis, hukum diformat kembali lewat suatu proses reformasi agar yang dinamakan hukum ini dapat difungsikan kembali sebagai sarana kontrol yang mumpuni?

Sesungguhnya, dalam riwayatnya sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang dinamakan hukum ini selalu mengalami transformasi, beralih-alih dari formatnya yang satu ke formatnya yang lain. Terjadinya transformasi itu mungkin saja bersebab dari proses-proses adaptasi yang penuh dengan fakta "trial and error", atau mungkin pula karena upaya-upaya bersengaja yang bermula dari proses-proses rekonseptualisasi kaum pemikir sampai pun ke proses-prosesnya yang berupa restrukturisasi oleh para politisi.

Dinamika adaptif hukum sebagai suatu sistem lingkungan yang berubah pernah ditulis dengan bagus sekali oleh Harold Bergman dalam bukunya Law and Revolution. Tesis Berman antara lain, hukum itu--sebagaimana dicontohkan dalam pengalaman hukum menurut tradisi negeri-negeri Barat--selalu berubah, mengalami pertumbuhan organik, baik pada tatanannya yang konseptual dan substantif-normatif maupun pada tatanannya yang struktural.

Revolusi-revolusi sosial, politik, dan kultural telah mereformasi hukum sesuai dengan kebutuhan zamannya. Penyesuaian itu sedemikian rupa sehingga hukum--dalam berbagai formatnya--berhasil melanggengkan fungsinya (yang tak selalu mudah) sebagai kekuatan pengintegrasi dan sarana kontrol yang relatif efektif untuk menjamin kehidupan yang tertib.

Hukum yang kita kenali kini sebagai hukum perundang-undangan yang positif adalah juga produk upaya adaptif pengelolanya untuk tetap dapat memfungsikan hukum di tengah suatu kehidupan yang tengah berubah. Hukum perundang-undangan yang kita kenali kini ini adalah sesungguhnya juga hasil reformasi rekonseptualisasi dan restrukturisasi untuk merespons tuntutan zamannya. Hukum perundang-undangan terinstitusikan untuk merespons kebutuhan negara-negara bangsa yang bertumbuh-kembang sebagai negara-negara demokratis di negeri-negeri Barat sejak abad ke-18 yang mendambakan kepastian-kepastian hak bagi setiap warga negara.

Hukum perundang-undangan memastikan, alias mempositifkan, mana kebebasan asali warga yang akan dibenarkan dan diakui menurut hukum sebagai hak asasi, dan mana pula yang akan dikecualikan untuk tidak lagi dibenarkan sebagai kebebasan. Sementara itu, di lain pihak, hukum perundang-undangan akan memastikan mana-mana pula kekuasaan para penguasa yang--dalam jumlah terbatas--boleh dibenarkan menurut hukum sebagai kewenangan.

Paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak--dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan)-- inilah yang di dalam konsep metayuridisnya disebut " konstitusionalisme", dan yang di dalam bahasa politiknya disebut "demokrasi". Inilah paradigma yang seharusnya menjiwai seluruh sistem hukum, baik pada wujudnya sebagai peraturan-peraturan maupun pada tahap proses pelaksanaan dan aplikasinya.

Jiwa dan Moral

Namun demikian, bukan mustahil pula apabila dalam praktik nanti ternyata hukum itu--secara berlawanan dengan ide konstitusionalisme--acapkali dapat pula digunakan pertama-tama sebagai pembenar eksistensi kekuasaan yang pada asasnya tak boleh dibatasi, (baik dalam hal jumlah maupun dalam hal ragam-macamnya). Akan tetapi, ditilik dari ide kontitusionalisme ini, kekuasaan yang berwatak demikian itu (setinggi apa pun derajat keabsahannya) harus dinyatakan telah kehilangan jiwa atau moral konstitusional(lisme)nya. Dikatakan, kekuasaan seperti itu memang mempunyai dasar legalitasnya, tapi telah kehilangan legitimitasnya.

Hukum yang menyalahi moral konstitusionalismenya adalah hukum yang represif. Yang demikian ini di tangan para pejabat pemerintahan hukum itu berhakikat sebagai instrumen-instrumen legal guna menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan berdasarkan sanksi-sanksi. Hukum--yang sekalipun mempunyai rujukannya yang positif di konstitusi akan tetapi tak dijiwai oleh moral konstitusionalisme--seperti itu tentu saja tidak dapat diharapkan menjamin terlindunginya kebebasan dan hak warga dari sembarang kebijakan pemerintah.

Dalam kenyataan seperti itu, tatkala hukum lebih termanfaatkan untuk menjamin kekuasaan daripada untuk menjamin kebebasan, tertengarailah bahwa para pejabat pengemban kekuasaan itulah yang lebih sering menyerukan agar siapa pun selalu menaati hukum dan bertindak konstitusional. Tak lain karena sang penguasa ini mengetahui, menaati hukum dan konstitusi itu pada hakikatnya adalah menaati kekuasaannya yang besar dan tak gampang dibatasi.

Tidak demikianlah halnya apabila suasana kehidupan hukum di suatu negeri itu adalah suasana yang bernuansa konstitusionalisme. Dalam hal ini setiap kata di dalam setiap rumusan hukum perundang-undangan itu akan terbaca sebagai keharusan untuk pertama-tama menjamin kebebasan dan hak warga, dan bukan pertama-tama sebagai pengukuh kekuasaan yang pada asasnya tak bisa dibatasi. Justru para pengemban kekuasaan pemerintahan itulah yang tertengarai selalu mengingat-ingatkan agar menaati hukum dan konsitusi. Tak lain karena di sini ini menaati hukum dan menaati konstitusi pada hakikatnya adalah menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya. Itulah imperatif kebebasan dan hak-hak warga yang harus dihormati dan ditegakkan oleh pengemban kekuasaan negara di mana pun dan kapan pun.

Membicarakan konstiusionalisme adalah sesungguhnya membicarakan sebuah ajaran metayuridis tentang berlakunya sebuah asas aksiomatik. Asas itu harus selalu diperhatikan tatkala orang membangun sebuah sistem hukum yang memenuhi syarat demi terealisasinya kehidupan bernegara-bangsa yang demokratis. Setiap kekuasaan yang diakui sebagi kewenangan pemerintahan, sesungguhnya berfungsi menjaga kebebasan dan hak warga. Ini berarti bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya kewenangan akan selalu tergantung dari kesediaan warga untuk secara sukarela mengurangkan sebagian dari kebebasannya agar dimungkinkan terwujudnya sejumlah kekuasaan. Dengan demikian, berarti juga adanya kesediaan warga untuk "menidurkan" sebagian dari hak-haknya agar dimungkinkan--untuk sementara, sejauh diperlukan--terciptanya tambahan kekuasaan pengatur di tangan pemerintah.

Kekuasaan dan Kebebasan

Tak pelak lagi, dihubungkan dengan persoalan sukarela atau tidak sukarela ini, konstitusionalisme secara implisit namun logis mengisyarakatkan bahwa setiap kekuasaan yang ada di tangan pemerintah hanya bisa dibenarkan dan dinyatakan sah sebagai kewenangan manakala didasari oleh persetujuan eksplisit warga. Persetujuan itu lewat wakil-wakil warga yang dipilih melalui suatu proses pemilihan yang jujur--untuk melepaskan sebagian dari kebebasannya demi memungkinkan penciptaan tambahan kekuasaan yang boleh diamanatkan dan dimandatkan kepada sang pejabat kekuasaan itu.

Dari situ asal mulanya pembenaran atas anggapan konseptual bahwa sesungguhnya kekuasaan dan kewenangan itu dihasilkan oleh suatu proses kontraktual. Ini adalah suatu proses interaktif yang terbuka dan yang tak boleh diganggu iktikad-iktikad culas. Proses ini untuk mempertemukan kemauan dan kesediaan warga mengenai perimbangan ulang yang dipandang lebih proposional antara kekuasaan dan kebebasan dan atau antara kewenangan (kewenangan para warga yang dipercaya menjadi pejabat) dan hak-hak (hak-hak warga yang secara sukarela tak berkehendak mendudukkan diri dalam jabatan pemerintah, sipil, ataupun militer).

Proses kontraktual--yang selalu saja dapat dikerjakan setiap saat untuk menyepatkan ulang perimbangan baru (antara luas-sempitnya kekuasaan dan luas sempitnya kebebasan)--inilah yang mungkin saja mengesankan adanya relativitas dan partikularitas di dalam ide konstitualisme itu. Namun demikian, betapapun juga kuatnya kesan, asasnya adalah tetap tak berubah bahwa di mana pun dan kapan pun juga kekuasaan dan kewenangan itu, baik dalam kuantitas maupun dalam kualitasnya, sesungguhnya berfungsi menjaga--alias berawal-sebab dari--kebebasan dan hak. Bukan sebaliknya.

Jadi, menurut ide dasarnya konstitusionalisme itu tidaklah hendak mengelakkan kemungkinan terjadinya kenyataan bahwa suatu saat dan pada situasi tertentu kekuasaan pemerintahan bisa saja disepakati oleh warga secara sukarela untuk lebih dominan daripada yang sudah-sudah. Pada akhirnya, esensi ide konstitualisme itu terletak pada soal keharusan yang tak boleh ditawar untuk meminimkan kekuasaan di satu pihak, dan memaksimumkan kebebasan di lain pihak.

Pada akhirnya, esensi ide konstitusionalisme itu terletak pada soal apakah kesukarelaan warga--yang diungkapkan secara langsung ataupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara langsung, umum, bersih, rahasia, jujur, dan adil--benar-benar bisa tetap terjaga ataukah tidak. Bagaimanapun juga konstitusionalisme adalah ide tentang penghormatan dan perlindungan kebebasan manusia sebagai hak yang asali dan asasi. Pengurangannya (bukan sekali-kali "dilepaskan")--demi dimungkinkannya penciptaan kekuasaan penertib kehidupan--dapat saja dilakukan. Itu tidak menjadi soal, asal prosesnya berlangsung dalam format kontraktual, yang tentu saja harus dilandasi kesukarelaan itu. (Soetandyo Wignjosoebroto)